Sabtu, 31 Juli 2010

Yang Terbaik Pasti Akan Datang

Pengantar
Secara kodrati setiap orang memiliki hal yang dianggap utama dalam kehidupannya. Sehingga setiap orang memiliki nilai keutamaannya masing-masing. Karena dari nilai keutamaannya setiap orang membangun makna, tujuan hidup dan kebahagiaannya. Menurut Sokrates, filsuf Yunani, alat untuk mencapai “kebahagiaan” adalah dengan melakukan kebajikan atau keutamaan. Makna keutamaan ini disebut oleh Sokrates dengan sebutan “arête”. Bagi Sokrates sendiri, keutamaan yang tertinggi atau termulia adalah pengetahuan. Tepatnya setiap orang yang memaknai kehidupannya dengan pengetahuan yang benar, maka pastilah mereka akan berbahagia. Sebaliknya kehidupan kita akan gagal dan mengalami kesusahan apabila kita jauh dari pengetahuan yang benar. Dengan demikian menurut Sokrates, pengetahuan merupakan keutamaan dalam kehidupan ini. Sebab inti dari pengetahuan adalah kebajikan. Sehingga barangsiapa yang mendasarkan kehidupannya kepada pengetahuan, maka hidupnya didasarkan kepada kebajikan dalam arti seluas-luasnya. Ini berarti keutamaan tertinggi yang disodorkan oleh Sokrates adalah kebajikan. Jadi bilamana kita mengikuti logika dari Sokrates tersebut, secara kodrati sebenarnya setiap orang telah menempatkan kebajikan sebagai keutamaan hidupnya. Yang terbaik bagi setiap orang adalah kebajikan secara menyeluruh, yaitu kebajikan secara etis moral, kebajikan secara sosial dan kebajikan dalam profesinya. Namun timbul pertanyaan, mengapa dalam realita kehidupannya, manusia sering tidak mampu melakukan keutamaan hidupnya yakni kebajikan jikalau dia telah berpengetahuan? Pada masa kini, para pelaku kejahatan atau pembuat masalah bagi sesamanya justru sering memiliki pengetahuan yang tinggi. Bahkan mereka bukan hanya memiliki pengetahuan yang tinggi, tetapi juga pemahaman dan penghayatan keagamaan yang baik.
Keutamaan Yang Utama
Kita semua tahu bahwa pengetahuan yang utuh dan mendalam sangat penting untuk membangun kehidupan ini. Selain itu kita sepakat bahwa pengetahuan yang utuh dan mendalam harus senantiasa didasarkan kepada penghayatan agama; karena melalui kepercayaan/agama kita tidak hanya memperoleh pengetahuan secara kognitif saja tetapi juga pengetahuan dan pemahaman secara spiritual. Namun pertanyaannya adalah apakah dengan semua pengetahuan yang serba lengkap, utuh dan mendalam tersebut telah menjamin bahwa kehidupan kita telah menemukan keutamaan yang tertinggi? Meminjam istilah Sokrates tentang keutamaan yaitu “arête” maka “arête” kita bukan sekedar pengetahuan dan kebajikan belaka. Tetapi “arête” (keutamaan) kita yang paling mulia adalah Allah. Tanpa Allah, maka segala pengetahuan kita tentang seluruh rahasia kebenaran alam, sains, dan seluruh seluk beluk teknologi, serta kebajikan moral sebagaimana diatur oleh kitab suci akan menjadi tidak berarti sama sekali. Tanpa Allah, agama-agama yang memiliki kepercayaan tentang Allah juga akan menjadi suatu kesia-siaan belaka. Sebab agama-agama yang percaya kepada Allah tidak secara otomatis akan menjadi agama-agama yang hidup di bawah kedaulatan atau otoritas kasih dan kebenaran Allah. Sikap religi dari agama-agama tidak secara otomatis membuktikan bahwa yang terbaik adalah kepatuhan kepada kehendak Allah. Bahkan sikap religi dari agama-agama justru sering merupakan upaya manusia untuk memperalat kuasa Allah untuk melayani kehendak dan keinginan manusiawi. Melalui ritual-ritual religinya, manusia sering berupaya untuk memanipulasi kuasa Allah untuk memperkuat kepentingan egoisme dirinya. Sehingga dengan sikap religinya, manusia justru tidak mampu memperoleh pembebasan dan keselamatan dari Allah. Sebaliknya dengan sikap religinya, manusia berupaya mengurung kebenaran Allah, yang mana dengan sikapnya tersebut manusia kehilangan keutamaan yang utama, yaitu kasih-karunia dan pengampunan Allah. Dengan kata lain, keutamaan yang utama bukan sekedar nilai-nilai etis-moral dan doktrin tentang Allah sebagaimana yang dimiliki oleh agama-agama, tetapi penyataan Allah dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Keutamaan yang utama yang telah dianugerahkan Allah dalam kehidupan umat manusia adalah Kristus.
Di Fil. 3:4-6, rasul Paulus menyaksikan bagaimana dia yang dahulu telah hidup tanpa cela menurut ukuran keagamaan, tunduk dan taat kepada hukum Taurat, status dan kedudukan yang terhormat sebagai seorang Farisi, dan dari kelahirannya dia adalah seorang Ibrani asli. Selain itu rasul Paulus memiliki semangat yang militan untuk menegakkan kebenaran agamanya, sehingga dia menganiaya jemaat Kristen. Dari pola ukuran Sokrates, apa yang dilakukan rasul Paulus sebelum dia bertobat sebenarnya telah memenuhi syarat. Sebab kehidupan rasul Paulus sebelum bertobat ditandai oleh keutamaan hidup seperti: pengetahuan yang lengkap tentang hukum-hukum agama, memiliki kebajikan yang terpuji selaku ahli Taurat dan orang Farisi, sadar akan identitas dirinya selaku orang Ibrani asli dan memiliki semangat untuk menegakkan kebenaran. Yang mana keutamaan-keutamaan atau kebajikan yang pernah dihayati oleh rasul Paulus tersebut sebenarnya merupakan representasi dari keutamaan (“arête”) yang dihayati oleh setiap agamawan dan setiap orang pada umumnya. Bukankah begitu banyak orang yang selalu bangga dengan identitas dirinya yang lahir tanpa darah campuran? Kita juga dapat menjumpai orang-orang yang hidup dengan bangga dengan doktrin kebenarannya dan mereka yang merasa lebih saleh dengan ketaatannya kepada hukum-hukum agama. Atau kita juga dapat menjumpai orang-orang yang bangga dengan kedudukan sosial dan gelar bangsawan, serta gelar akademis tertentu. Jika demikian bukankah status sosial dan gelar-gelar tersebut dianggap sebagai bagian dari keutamaan seseorang? Itu sebabnya status sosial dan gelar-gelar tersebut senantiasa dikejar dengan suatu pengorbanan tertentu. Suatu nilai keutamaan karena dianggap berharga dan mulia akan dikejar oleh seseorang dengan harga yang mahal. Bahkan kalau perlu keutamaan-keutamaan tersebut akan dipertaruhkan dengan nyawa dan hidupnya. Namun pada sisi yang lain perlu dicermati, bahwa ternyata keutamaan-keutamaan tersebut bukanlah keutamaan yang sejati. Memang keutamaan-keutamaan tersebut sangat bermanfaat dalam kehidupan ini, tetapi bukanlah yang tertinggi dan termulia. Realitas keutamaan-keutamaan tersebut justru sering bersifat semu dan fana. Mungkin pada satu sisi keutamaan-keutamaan seperti status etnis, penguasaan seseorang akan hukum agama, pola hidup salehnya, status sosial, dan semangatnya untuk menegakkan kebenaran – dapat menghasilkan suatu kebanggaan diri dan pengakuan dari publik. Tetapi pada sisi yang lain keutamaan-keutamaan tersebut justru dapat menjauhkan diri kita dari kebenaran dan relasi dengan Allah yang hidup sebagaimana dinyatakan oleh Kristus. Jadi karena kita sering terlalu bangga dengan kebenaran dan kesalehan sendiri, maka mata rohani kita tertutup untuk melihat dan mentaati kebenaran Allah yang sesungguhnya.
Dahulu Sebagai Keuntungan, Sekarang Menjadi Kerugian
Nilai keutamaan sebagai nilai yang terbaik akan diperoleh seseorang ketika dia memperoleh pencerahan yang membebaskan. Sering seseorang menganggap dirinya telah melakukan nilai-nilai keutamaan atau hal yang terbaik hanya karena kewajiban agamawi dan moral belaka. Seharusnya kewajiban dan tanggungjawab moral yang kita lakukan didasari oleh pencerahan rohani, sehingga menghasilkan perspektif yang baru. Karena melalui pencerahan rohani, kita dimampukan oleh melihat dan menilai setiap kewajiban dan tanggungjawab moral dari lingkup yang lebih luas dan kritis. Kita tidak sekedar melihat dan memaknai kewajiban dan tanggungjawab sekedar sesuatu yang harus dilakukan dengan setia. Tetapi kewajiban dan tanggungjawab moral kita tersebut secara bersengaja ditempatkan pada peristiwa penyataan Allah yang telah terjadi dalam sejarah hidup manusia. Dengan demikian makna kewajiban dan tanggungjawab moral kita memiliki pondasi yang kokoh karena berada dalam jalinan karya keselamatan Allah. Kita melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab moral sebagai kawan sekerja Allah, dan bukan sekedar suatu peran etis-moral yang individualistis. Sebab kewajiban dan tanggungjawab moral yang individualistis dengan berpusat kepada kebenaran dan egoisme diri telah menjadi sesuatu yang usang. Mungkin dahulu kita bangga dengan segala bentuk kewajiban dan tanggungjawab moral yang sifatnya individualistis dan egosentrisme. Tetapi kemudian kita diperkenankan untuk mengalami suatu peristiwa pencerahan iman yang mengubah seluruh perspektif dan paradigma hidup kita. Yang mana peristiwa pencerahan tersebut bukan diperoleh dengan bermeditasi sebagaimana yang dialami oleh Sidharta Gautama. Tetapi peristiwa yang mencerahkan dan membebaskan itu terjadi melalui perjumpaan kita dengan Tuhan Yesus Kristus. Pengalaman yang mencerahkan dan membebaskan tersebut juga disaksikan oleh rasul Paulus setelah dia berjumpa dengan Kristus, sehingga dia berkata: “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus” (Fil. 3:4-5). Sehingga rasul Paulus melepaskan seluruh kebanggaan dan apa yang dimiliki, sebab dia menemukan yang lebih mulia, lebih kekal dan keselamatan yang tiada taranya.
Selama kita belum menemukan sesuatu yang lebih berharga dan mulia, kita sering menganggap apa yang kita bangga-banggakan sebagai milik kita itu lebih dari segala-galanya. Namun saat seseorang berjumpa dan mengenal Kristus, barulah dia menyadari bahwa seluruh kebanggaan dan kemegahannya hanyalah suatu kesia-siaan belaka. Setelah dia berjumpa dan mengenal Kristus, maka yang dahulu dianggap sebagai suatu keuntungan ternyata suatu kerugian semata. Sikap ini seperti makna perumpamaan Tuhan Yesus tentang seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah. Setelah dia menemukan mutiara yang sangat berharga, maka iapun pergi menjual seluruh miliknya agar dapat membeli mutiara yang berharga itu (Mat. 13:46). Namun dalam kehidupan kita sehari-hari justru sering mutiara yang berharga itu bukan lagi Kristus. Dahulu kita memang pernah menempatkan Kristus sebagai mutiara yang paling berharga, tetapi dalam perjalanan hidup kita kemudian ternyata penghayatan dan pemahaman kita tersebut luntur dan bergeser jauh. Justru beberapa orang menganggap Kristus sebagai suatu kesia-siaan, dan mereka menggantinya dengan “idol” atau berbagai “ilah” lain seperti: hawa-nafsu seks, sikap serakah, konsumtif, uang, kekayaan, kedudukan dan kekuasaan. Itu sebabnya mereka mengganti Kristus dengan kuasa dunia saat mereka membaca Fil. 3:7-8, yaitu: “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena uang dan kekayaan. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan uang, tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena uanglah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh kekayaan”. Kata-kata yang diberi garis tersebut dapat diganti, misalnya: kenikmatan seks, kekuasaan atau kedudukan. Kuasa dunia senantiasa berupaya menjungkir-balikkan mutiara kebenaran yang berharga dan kekal dengan hal-hal yang fana. Dengan sangat prihatin kita melihat bagaimana orang-orang yang semula mengasihi Kristus pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Dia, karena alasan yang duniawi. Kasih yang tidak dilandasi oleh keutamaan yang transformatif yaitu perjumpaannya dengan Kristus umumnya tidak pernah tahan lama. Sebaliknya kasih yang dilandasi oleh perjumpaan yang transformatif dan membebaskan akan mendorong seseorang untuk mengorbankan hal yang terbaik dan terindah kepada Kristus. (Bersambung........")

Tidak ada komentar:

Posting Komentar